Jejak Turki Utsmaniyah di Cerita Rakyat Sumatera
Sejarah Nusantara menyimpan banyak kisah pertemuan budaya yang jarang diungkap secara luas. Salah satu di antaranya adalah hubungan erat antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan Kesultanan Utsmaniyah di abad ke-16. Hubungan diplomatik dan militer kedua kekuatan Islam ini ternyata tak hanya tercatat di kitab-kitab sejarah, tetapi juga terpantul dalam cerita rakyat Sumatera Utara.
Ekspedisi Utsmaniyah ke Aceh bermula sekitar tahun 1565, ketika Sultan Alauddin al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul. Permintaan itu ditujukan kepada Khalifah Turki Utsmaniyah saat itu, Suleiman Agung, untuk mengirimkan bantuan menghadapi Portugis di Selat Malaka. Bala bantuan pun datang, terdiri dari prajurit Turki, Mesir, Swahili, Somalia, Sindhi, hingga Gujarat.
Yang menarik, beberapa riwayat lisan di Sumatera Utara menyebut nama-nama berbau Turki dalam tarombo atau silsilah marga-marga kuno. Di daerah Tapanuli (Kerajaan Huristak) misalnya, terdapat nama si Turki.
Raja Huristak merupakan marga Hasibuan yang dalam tarombo Batak Toba, Hasibuan merupakan rumpun beberapa marga seperti Hatagalung, Lumban Tobing dll.
Marga Hasibuan saat ini dikenal banyak menjadi ulama seperti Syeikh Ali Hassan Ahmad Addary yang menjadi nama dari UIN Padangsidimpuan sementara Dangol Lumban Tobing dikenal sebagai pendiri pesantren dan STAI Bahriyatul Ulum di Tapanuli Tengah.
Kisah perlawanan melawan Portugis juga ada dalam riwayat Suku Guci dan Tanjung Sumatera Barat dengan tokohnya Raja Guguak dari Nagari Guguak. Di Sumatera Utara juga terdapat marga Rajagukguk.
Di sebagian wilayah Deli dan Serdang, legenda tentang saudagar Turki yang menikah dengan perempuan setempat juga masih disampaikan orang tua kepada anak cucu. Mereka dikenal sebagai pedagang rempah dan senjata yang datang melalui pelabuhan-pelabuhan kecil di pesisir timur, mengikuti jejak armada Aceh-Turki di masa perang melawan Portugis.
Catatan Portugis yang dibuat oleh Fernão Mendes Pinto juga menyebutkan bahwa pengaruh Aceh-Turki juga sampai ke beberapa wilayah tanah Batak dalam wilayah Kerajaan Aru.
Dalam ekspedisi militer itu, senapan dan meriam Turki menjadi senjata andalan pasukan Aceh. Setelah jatuhnya Aceh ke tangan Belanda pada 1874, senjata-senjata Turki itu sempat dikumpulkan dan dipamerkan oleh pasukan kolonial di London. Sementara di Sumatera Utara, kisah tentang kehadiran 'orang Turki' masih disimpan dalam bentuk legenda.
Beberapa tarombo kuno di Sumatera Utara bahkan mencatat nama yang diduga terpengaruh Turki, seperti Osman, Mahmud, atau Mustafa. Meskipun nama-nama itu jarang digunakan secara luas, keberadaannya menjadi petunjuk bahwa terjadi akulturasi budaya seiring masuknya pengaruh Islam ke pedalaman Batak.
Selain lewat tarombo, unsur-unsur Turki juga hadir dalam cerita rakyat tentang tokoh sakti yang memiliki kemampuan militer luar biasa. Tokoh-tokoh ini kerap digambarkan mengenakan pakaian asing dan bersenjata api, sesuatu yang baru dikenal di Sumatra setelah kedatangan pasukan Utsmaniyah.
Di wilayah pesisir Barus, yang sejak lama dikenal sebagai pelabuhan rempah, ditemukan pula nama kampung dan keluarga yang dikaitkan dengan keturunan pedagang asing. Meski tidak selalu disebut Turki secara langsung, tetapi narasi lisan setempat menggambarkan mereka berasal dari negeri jauh di seberang Lautan Hindia.
Sejarawan lokal juga menemukan adanya kesamaan antara istilah-istilah dalam bahasa Batak kuno dengan beberapa kosakata dari bahasa Turki Utsmani, terutama yang berkaitan dengan gelar bangsawan (Pasha atau Basa menjadi Bosar; Malim Basa menjadi Malim Bosar), militer, dan istilah dagang. Ini menambah keyakinan bahwa hubungan kedua peradaban ini tidak sekadar dalam catatan resmi, tetapi menyusup dalam budaya sehari-hari. Di Simalungun, kisah Aceh-Tueki disebut dalam Pustaha Bandar Hanopan dll.
Selain itu tokoh seperti Ahmad Salim atau Ahmad Barus II dengan gelar Datuk Paduko Berhalo dikenal senagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Melayu Jambi yang berasal dari Kesultanan Utsmaniyah (Turki). Ia memerintah pada tahun 1460-1480, bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak.
Pengiriman duta dari Aceh ke Istanbul tahun 1564 semakin mempererat hubungan tersebut. Saat itu, Sultan Husain Ali Riayat Syah mengutus orang-orang terpilih untuk menghadap Khalifah di Istanbul, menyebut penguasa Turki sebagai Amirul Mukminin, pemimpin umat Islam di dunia.
Balasan dari Istanbul tidak hanya berupa pasukan dan senjata, tetapi juga utusan keagamaan yang membantu menyebarkan ajaran Islam ke wilayah Sumatra. Para ulama ini diyakini turut berperan dalam penyebaran Islam ke kawasan Batak dan sekitarnya, yang pada akhirnya membentuk jejak budaya hingga kini.
Di beberapa daerah pedalaman, masih ditemukan makam tua yang konon disebut sebagai makam orang Turki atau orang asing. Lokasinya berada di dekat bekas pelabuhan kecil atau jalur perdagangan kuno yang dulu ramai disinggahi kapal asing.
Legenda tentang kedatangan pasukan Turki yang membantu Aceh lalu menyebar hingga ke Toba, Mandailing, dan Angkola, memperkaya kisah kepahlawanan di daerah tersebut. Beberapa cerita bahkan menyebutkan bahwa senjata api pertama kali dikenal masyarakat Batak dari pasukan ini.
Dalam budaya lisan Batak, dikenal pula kisah tentang seorang pahlawan asing yang berjasa mengajarkan teknik tempur dan penggunaan senjata api, yang kemudian diteruskan oleh para datu atau pemimpin adat setempat, lihat kisah Panglima Manang Sukka.
Jejak hubungan ini tidak banyak dibahas dalam buku sejarah nasional, namun jejaknya tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Sumatra Utara. Melalui cerita rakyat, tarombo, dan legenda, hubungan Aceh-Turki di abad ke-16 itu tetap lestari.
Kisah ini menunjukkan bahwa Sumatra Utara bukanlah wilayah terpencil yang terasing dari percaturan dunia, melainkan bagian dari jalur perdagangan dan persekutuan politik global di masa lalu. Cerita rakyat menjadi cermin penting untuk membaca jejak sejarah yang tersembunyi.
Dibuat oleh AI, baca selanjutnya
Jejak Turki Utsmaniyah di Cerita Rakyat Sumatera
Reviewed by marbun
on
April 30, 2025
Rating:
No comments